Thursday, 12 Sep 2013 | 17:36 WIB
KOMPAS.com - Hingga kini belum ada data akurat mengenai penyebaran penyakit robeknya pembuluh darah aorta atau diseksi aorta, di Indonesia. Meski begitu, menurut pengakuan ahli jantung RSJPD Harapan Kita, dr Iwan Dakota, SpJP(K), penyakit ini paling banyak menjangkiti kaum pria.
Dr Iwan mengaku sering menangani pasien diseksi aorta yang berusia 40-70 tahun, kebanyakan pria. "Dalam satu bulan saya menerima 10 pasien diseksi aorta, kebanyakan pria," ungkapnya.
Selain pria di atas usia 40, penderita diabetes, hipertensi, kolesterol tinggi, dan perokok juga rentan terhadap penyakit diseksi aorta ini. Selain itu, penyakit ini juga bisa muncul karena faktor genetik.
"Risiko tertinggi adalah para perokok. Rokok perlahan mengakibatkan luka pada pembuluh darah, yang memisahkan bagian dalam dan dinding aorta," ungkapnya di Jakarta, Rabu (11/9/2013).
Dr Iwan menjelaskan, diseksi aorta merupakan penyakit yang diakibatkan kondisi pembuluh darah yang mudah pecah. Penyakit ini sebetulnya bisa dicegah. Pola makan seimbang dan rajin olahraga menjadi kunci utama. Iwan juga menyarankan rutin melakukan medical check-up, terutama ct-scan.
Tindakan medis
Orang yang menderita diseksi aorta perlu segera mendapatkan tindakan medis. Sebab, bila penyakit ini dibiarkan, luka pada pembuluh darah bisa semakin membesar dan bisa berakibat pecahnya pembuluh darah. Risiko paling fatal adalah terjadinya pendarahan yang bisa menyebabkan kematian.
Selain perlu mendapatkan tindakan medis dengan segera, penderita penyakit ini juga harus mendapatkan diagnosa tepat. Sebisa mungkin hindari kesalahan diagnosa. Kesalahan diagnosa yang paling mungkin terjadi dan berisiko tinggi adalah, penderita diseksi aorta didiagnosa mengalami serangan jantung.
"Jika salah diagnosa sebagai serangan jantung, penderita akan diberikan obat pengencer darah. Ini akan membuat luka pada pembuluh darah semakin besar. Kalau sudah begini bisa fatal kaibatnya," jelas dr Iwan.
Pasien diseksi aorta juga memerlukan pengobatan yang tepat. Pengobatan biasanya dilakukan pada bagian pembuluh dengan tekanan tinggi, yaitu di tempat keluarnya darah. Pengobatan penyakit ini juga bergantung pada lokasi robeknya pembuluh darah.
Dr Iwan menjelaskan, bila lokasi robek ada di atas jantung (asendans), maka pasien harus mendapatkan tindakan medis dalam 1 24 jam. Lokasi asendans adalah segmen pertama dari aorta yang berasal dari jantung.
Namun bila lokasi robeknya pembuluh darah terletak di desendans, maka pasien cukup minum obat. Desendans adalah bagian dari aorta yang bergerak ke bawah, melalui dada dan perut. Obat yang diberikan bisa berupa gliseril trinitrat dan pemblokir beta. Kendati begitu, hal ini tidak berlaku mutlak.
Jika lokasi robek ada di desendans, namun pasien mengalami sakit dada terus menerus dengan tekanan darah tidak terkontrol, maka perlu segera dilakukan tindakan medis.
"Biasanya kita menunggu tiga hari sejak pasien masuk ICU. Bila selama tiga hari tekanan darah terkontrol, maka pasien bisa pulang, minum obat, dan tetap rajin kontrol," tandasnya.
Penulis: Rosmha Widiyani
Editor: Wardah Fazriyati
0 komentar:
Posting Komentar