Satwa di Kebun Binatang Tidak Sejahtera


Wednesday, 11 Sep 2013 | 19:23 WIB

KOMPAS.com Peran kebun binatang dalam konservasi dan edukasi dipertanyakan seiring munculnya berbagai kasus salah urus hingga kematian hewan dalam beberapa tahun terakhir.

Akhir Agustus lalu, dua ekor singa Afrika dan seekor harimau Sumatera mati di Kebun Binatang Taman Rimba Jambi. Kematian tiga ekor binatang ini diduga disebabkan daging yang terkontaminasi racun.

Tak lama berselang, Melani, seekor harimau Sumatera koleksi Kebun Binatang Surabaya, juga diusulkan untuk disuntik mati karena kondisinya belum membaik akibat konsumsi daging berformalin selama bertahun-tahun.

Nasib malang hewan-hewan di kebun binatang ini menurut Direktur ProFauna Indonesia Rosek Nursahid bukan cerita baru.

Sejak survei dilakukan pada tahun 2000 lalu, ProFauna menemukan hampir 90 persen satwa di kebun binatang di Indonesia hidup di bawah standar kesejahteraan hewan.

Hingga tahun 2013 ini, dia menilai tidak ada perubahan berarti.

"Ada lima ukuran kebebasan satwa, yaitu bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa takut, bebas dari sakit, luka dan penyakit, serta bebas mengekspresikan perilaku normal dan bebas dari rasa stres," ujar Rosek, kepada Wartawan BBC, Christine Franciska.

"Dalam beberapa kasus di Surabaya, Bandung, dan Jakarta tidak ada perubahan signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan satwa."

Kurangnya perhatian terhadap satwa diakui oleh Tonny Sumampow yang saat ini menjabat Sekretaris Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI).

Dalam pemantauan PKBSI, sebanyak 40 persen dari 46 kebun binatang di Indonesia masih berada di bawah standar yang ditetapkan.

Ini menunjukkan gagalnya sebagian besar kebun binatang di Indonesia dalam peran konservasi dan edukasi bagi masyarakat.

"Tiap pengunjung yang datang, paling tidak diharapkan untuk pulang membawa pengetahuan mengenai satwa dan habitat mereka. Tetapi kebanyakan, kebun binatang hanya dijadikan taman hiburan saja."

"Datang untuk piknik, tidak memperhatikan satwa, diperhatikan pun tidak mendalam. Peran kebun binatang sebagai pusat edukasi tidak berhasil," kata Tonny yang juga mengelola Taman Safari Indonesia di Cisarua, Bogor.

Masih utamakan kuantitas

Menurut Rosek, tugas menyejahterakan satwa di kebun binatang tak tercapai karena berbagai hal. Salah satunya adalah kecenderungan untuk mengutamakan kuantitas satwa.

Pengelola, lanjutnya, menganggap jumlah satwa yang semakin banyak akan berdampak positif bagi jumlah pengunjung yang datang.

"Harusnya ada pembatasan jumlah hewan dan peningkatan kualitas, bahkan kalau perlu buat spesialisasi."

Rosek menyerukan agar pemerintah menetapkan moratorium pembangunan kebun binatang baru karena menurutnya saat ini pemerintah daerah melirik pembukaan kebun binatang sebagai sumber pemasukan baru.

Sementara itu, menurut Tonny Sumampouw, masalah pendanaan dan kurangnya sumber daya yang kompeten juga membuat penanganan satwa kurang sesuai.

Kementerian Kehutanan yang punya wewenang mengatur lalu lintas koleksi satwa liar di Indonesia, menurut Tonny, telah melakukan kerja sama dengan PKBSI, LIPI, dan berbagai lembaga untuk membuat akreditasi lembaga konservasi.

Tujuannya agar pengelola mengerti betul standar kebun binatang yang ideal.

"Kami juga melakukan pelatihan rutin tentang konservasi dan perawatan satwa agar SDM di kebun binatang memiliki keahlian," kata Tonny.

Jadi prioritas

Tudingan pengelola kebun binatang melalaikan satwa peliharaannya dibantah Humas Kebun Binatang Ragunan, Wahyudi Bambang.

Dalam kasus Ragunan, menurut Wahyudi, pengelola menempatkan peran konservasi dan edukasi pada urutan paling atas dan fungsi rekreasi di tempat paling akhir untuk memastikan hewan terpelihara baik.

"Perawatan satwa terjadwal, dibersihkan kandangnya, diberi makan secara rutin, dan penjaga satwa selalu memperhatikan perilaku mereka. Jika ada perubahan perilaku, mereka langsung berkonsultasi dengan dokter hewan," katanya.

Kesulitan yang dialami para penjaga kebun binatang, menurutnya, terletak pada upaya memberi pengertian pengunjung untuk tidak memberi makan binatang.

"Kita sudah menghalangi, memberi papan peringatan. Tetapi beberapa masih melakukan. Padahal makanan manusia itu bisa mengganggu pola makan hewan."

Wahyudi juga membantah kebun binatang bermasalah dengan urusan dana.

Ragunan, menurut Wahyudi, memperoleh subsidi pemerintah, ditambah pendapatan dari penjualan tiket pengunjung yang jumlahnya ditentukan targetnya per hari.

Harga tiket kebun binatang terbesar kedua Asia ini dipatok Rp 4.500 untuk pengunjung dewasa.

Editor: Yunanto Wiji Utomo

 

Penulis : Muhammad Naufal Fakhri ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Satwa di Kebun Binatang Tidak Sejahtera ini dipublish oleh Muhammad Naufal Fakhri pada hari Minggu, 15 September 2013. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Satwa di Kebun Binatang Tidak Sejahtera
 

0 komentar:

Posting Komentar